Selamat datang di fase menghidupkan. Karena ujian kesabaran dan ketelitian kita akan semakin diuji. Lengah sedikit maka bangunan akan hancur dan kita harus mengulang kembali membangun dari awal. Menghidupkan juga masih dalam ranah membangun. Jadi saya katakan kembali, tugas anda belum selesai. Masih harus terus berjalan agar tetap hidup. Jika itu terus dilakukan, maka akan terjadi pertumbuhan atau perkembangan.
Mungkin pertanyaan akan muncul, sampai kapan kita melakukannya?
Kita akan jawab dengan ilustrasi kisah berikut ini :
Seorang yang berniat membangun Majelis Ta'lim, mulai melangkah dari pembicaraan soal konsep hingga sampailah kepada tahap pembangunan gedung Majelis Ta'lim tersebut. Bangunanpun sudah rampung. Ia terus bersosialiasai kepada masyarakat tentang pentingnya mencari ilmu. Akhirnya pengajian pun digelar dan jama'ah mulai banyak berdatangan. Aktifitas pengajian terus berjalan. Jama'ah yang semula berjumlah belasan, menjadi puluhan dan ratusan. Karena terus dipertahankannya aktifitas itu sebagai wujud menghidupkan majelis, akhirnya majelis ta'lim itu berkembang menjadi Pondok Pesantren. Saat usianya semakin tua, ia sudah berhasil mencetak sang putra untuk melanjutkan perjuangannya. Akhirnya iapun wafat. Dan Putranya langsung menggantikan posisi mengemban amanah menghidupkan pesantren. Sambil terus berupaya kaderisasi kelak sang anak dipanggil pula oleh Allah dan seterusnya.
Jawaban dari pertanyaan di atas anda yang menyimpulkan sendiri. Begitulah dimensi membangun yang benar. Berhenti kala tutup usia. Tugas usai ketika Allah memanggil kita sambil menyerahkan tugas kepada generasi berikutnya.
Tapi...
Harap difahami secara mendalam. Membangun itu jangan terjebak di ranah membangun fisik bangunannya. Tetapi sejatinya membangun adalah membangun mental generasi berikut. Membangun ruh yang kuat dan berakhlak. Bukan hanya memperindah fasilitas bangunannya. Perhatikan, orang yang terdidik di pesantren tradisional yang notabene serba kekurangan dan penuh kesederhanaan. Tapi alhasil mampu mencetak ulama besar.
Terkadang serba kekurangan itu banyak menuai hikmah yang mendalam dan menghasilkan kualitas paripurna. Tapi serba kecukupan dan fasilitas ideal, justru mengurangi kualitas dan pendalaman ilmu para santri. Mungkin ada juga yang fasilitasnya baik dan hasilnya baik pula. Terkadang terjadi dan tidak.
Tapi...
Harap difahami secara mendalam. Membangun itu jangan terjebak di ranah membangun fisik bangunannya. Tetapi sejatinya membangun adalah membangun mental generasi berikut. Membangun ruh yang kuat dan berakhlak. Bukan hanya memperindah fasilitas bangunannya. Perhatikan, orang yang terdidik di pesantren tradisional yang notabene serba kekurangan dan penuh kesederhanaan. Tapi alhasil mampu mencetak ulama besar.
Terkadang serba kekurangan itu banyak menuai hikmah yang mendalam dan menghasilkan kualitas paripurna. Tapi serba kecukupan dan fasilitas ideal, justru mengurangi kualitas dan pendalaman ilmu para santri. Mungkin ada juga yang fasilitasnya baik dan hasilnya baik pula. Terkadang terjadi dan tidak.
0 comments: